Kolom Da'wah Online

Biasanya orang mengenal Kalimat "Wong Pondo'an" mesti sugestinya mengarah ke "Ndeso, Katrok, Ketinggalan Zaman, Ngak ramah Tekhnologi dll" tapi Pondok Pesantren SPMAA ini sungguh berbeda dari yg laen. Pondok ini Mewajibkan bagi santrinya untuk "Satu Santri 1 Laptop, 1 Kambing" bagi yg mampu...kalau yg belum mampu dipinjami oleh penggurusnya....dan model pembelajarnya juga tidak selalu paten terhadap 1 kitab/Hadist melainkan cari refrensi dari berbagai kitab melalui Internet. — bersama Gus Naim dan 5 lainnya.
Biasanya orang mengenal Kalimat "Wong Pondo'an" mesti sugestinya mengarah ke "Ndeso, Katrok, Ketinggalan Zaman, Ngak ramah Tekhnologi dll" tapi Pondok Pesantren SPMAA ini sungguh berbeda dari yg laen. Pondok ini Mewajibkan bagi santrinya untuk "Satu Santri 1 Laptop, 1 Kambing" bagi yg mampu...kalau yg belum mampu dipinjami oleh penggurusnya....dan model pembelajarnya juga tidak selalu paten terhadap 1 kitab/Hadist melainkan cari refrensi dari berbagai kitab melalui Internet.
Suka · · · Promosikan · 55 menit yang lalu ·

Da'wah OnLine

@ Gus Hafidh Skpm: Keseluruhan isi dunia ini dimata Allah adalah senda gurau dan permainan belaka kecuali dzikrullah. Meski begitu, sebagai pemain lakon yang sedang menjalani tugasnya, jangan main-main atau tidak menyadari atas fungsi peran yang harus dijalankan. Karena jika buat dagelan negara yang tidak disadari, ingin tersenyumpun tidak tulus bahkan jadi tidak enjoi.

Apakah kita tulus dan sadar dalam menjalankan peran ? Itulah potret pribadi kita dalam menjalani kehidupan. Bismillah
Suka · ·

Sekilas Tentang Sejarah Panti Ashan Pancasila

Pantiasuhan Pancasila merupakan suatu Lembaga Sosial yang didirikan oleh Beliau Bapak Guru MA. Muchtar sejak tahun 1961, yang diperuntu’kan untuk anak-anak usia sekolah. Dan beliau memberikan layanan ini secara gratis “Free Cash” mulai dari ilmu yang diberikan hingga makan-minum, tempat tinggal, dan kesehatan semua ditanggung oleh Bapak Guru MA. Muchtar.
Ini beliau lakukan karena beliau pada masa mudanya yang juga mondok dipesantren, dan disana belaiu sanggat menggalami kekurangan, buat beli baju, buku, kitab-kitab, makan dan ditambah lagi uang gedung. saat itu beliau berfikiran dan berangan-angan “kok gini yah susah & beratnya jadi orang pondo’an, suatu saat saya akan mendirikan suatu pondok yang Gratis Sepenuhnya bebas biaya” dan akhirnya atas kuasa dan izin Allah swt.
Belai dapat mendirikan suatu Pondok Pesantren yang Namanya SPMAA (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah) yang mana didalam pondok Pesantren itu sendiri terdapat “Pantiasuhan Pancasila & Panti Werdha Mental Kasih” dan alhamdulillahnya dan ini satu-satunya Pondok Pesantren di Indonesia yang santrinya di Pesantren ini tidak hanya Anak-anak / Pumada-pemudi saja, melainkan Mulai Balita sampai Lansia. Subhanawllah…..
Panti Asuhan Pancasila
Panti Asuhan Pancasila adala suatu panti sosial yang didirikan oleh beliau Bapak Guru MA. Muchtar sejak tahun 1961.

Halaman: 20 menyukai ini
Pagi ini saat bangun, sebungkus nasi sudah tersedia di meja dekat dipan. Lengkap dengan beberapa gelas air minum kemasan dan seteko kecil teh rosella. Saya nggak berani menyentuhnya walau sebenarnya yakin kalau semua itu memang untuk saya. Buat siapa lagi coba, kalau penghuni kamar tamu itu hanya saya.

Keluar kamar saya temui sandal saya masih menghilang. Saya putuskan ke kamar mandi telanjang kaki. Di pelataran samping kamar mandi itu saya ditegur seorang ibu-ibu, “Kok nggak pakai sandal?” Saya tergagap bingung mau jawab apa, akhirnya saya jawab jujur saja. “Masih menghilang Bu.”

Begitu saya keluar dari kamar mandi, pemuda yang tadi duduk-duduk bersama ibu tadi bergegas menghampiri saya sambil menyorongkan sandal jepitnya.

“Ini pakai ini saja.”

“Nggak usah. Nggak apa.”

“Pakai ini saja nggak apa. Ini milik saya kok.”

“Nanti mbalikinnya gimana?”

“Sudah, nanti taruh sana saja.”

Sampai di kamar, seorang pemuda yang saya kenal kemarin, yang saya tahu tidak berwenang akan keberadaan saya, Pagi ini saat bangun, sebungkus nasi sudah tersedia di meja dekat dipan. Lengkap dengan beberapa gelas air minum kemasan dan seteko kecil teh rosella. Saya nggak berani menyentuhnya walau sebenarnya yakin kalau semua itu memang untuk saya. Buat siapa lagi coba, kalau penghuni kamar tamu itu hanya saya.

Keluar kamar saya temui sandal saya masih menghilang. Saya putuskan ke kamar mandi telanjang kaki. Di pelataran samping kamar mandi itu saya ditegur seorang ibu-ibu, “Kok nggak pakai sandal?” Saya tergagap bingung mau jawab apa, akhirnya saya jawab jujur saja. “Masih menghilang Bu.”

Begitu saya keluar dari kamar mandi, pemuda yang tadi duduk-duduk bersama ibu tadi bergegas menghampiri saya sambil menyorongkan sandal jepitnya.

“Ini pakai ini saja.”

“Nggak usah. Nggak apa.”

“Pakai ini saja nggak apa. Ini milik saya kok.”

“Nanti mbalikinnya gimana?”

“Sudah, nanti taruh sana saja.”

Sampai di kamar, seorang pemuda yang saya kenal kemarin, yang saya tahu tidak berwenang akan keberadaan saya, Pagi ini saat bangun, sebungkus nasi sudah tersedia di meja dekat dipan. Lengkap dengan beberapa gelas air minum kemasan dan seteko kecil teh rosella. Saya nggak berani menyentuhnya walau sebenarnya yakin kalau semua itu memang untuk saya. Buat siapa lagi coba, kalau penghuni kamar tamu itu hanya saya.

Keluar kamar saya temui sandal saya masih menghilang. Saya putuskan ke kamar mandi telanjang kaki. Di pelataran samping kamar mandi itu saya ditegur seorang ibu-ibu, “Kok nggak pakai sandal?” Saya tergagap bingung mau jawab apa, akhirnya saya jawab jujur saja. “Masih menghilang Bu.”

Begitu saya keluar dari kamar mandi, pemuda yang tadi duduk-duduk bersama ibu tadi bergegas menghampiri saya sambil menyorongkan sandal jepitnya.

“Ini pakai ini saja.”

“Nggak usah. Nggak apa.”

“Pakai ini saja nggak apa. Ini milik saya kok.”

“Nanti mbalikinnya gimana?”

“Sudah, nanti taruh sana saja.”

Sampai di kamar, seorang pemuda yang saya kenal kemarin, yang saya tahu tidak berwenang akan keberadaan saya, mempersilakan saya makan. Tak lama, pemuda itu masuk lagi.

“Sandalnya hilang lagi ya Mas?”

“Ah, nanti kan muncul lagi.”

Sandal hilang itu memang salah saya. Pertama menghilang, saya sudah diperingatkan agar selalu menyimpannya di kamar jika tidak terpakai. Tapi karena malam tadi sedikit terburu plus malas, saya menggeletakkannya saja. Di depan kamar bersama beberapa sandal lain. Wajarlah kalau kemudian menghilang. Sandal saya sandal jepit kamar mandi. Sandal “milik semua orang.”

Seorang kenalan baru yang lain muncul. Melihat saya sedang makan, dengan tampang sumringah dia bercerita, “Naaah, itu yang namanya nasi boranan. Jadi makanan khas di Lamongan itu bukan soto saja. Ada juga nasi boranan.” Sebentar saja ia masuk, sebentar ia sudah keluar. Tampaknya hanya ingin menerangkan apa yang sedang saya makan.

Sebentar kemudian ada yang tergopoh-gopoh membawa dua pasang sandal yang mirip sandal saya. “Sandalnya yang mana ya Mas?”

Pagi ini adalah pagi kedua saya di Desa Turi, Lamongan. Tepatnya di Pondok Turi, Pesantren Yayasan SPMAA. Sumber Pendidikan Mental Agama Allah. Pondok yang menampung siapa saja. Dari saya yang  sekadar bertamu numpang lewat numpang hidup, anak bermasalah buangan polisi, bayi berumur dua hari yang tak dikehendaki, orang gila kiriman dinas sosial, sampai orang jompo yang menunggu sisa hari. Bahkan saat saya menulis ini, dari corong masjid dua orang suster memperkenalkan diri. Mereka hendak mondok selama dua minggu. Belajar ilmu pekerti yang melimpah ruah di pondokan ini.

Semua bahan diskusi yang saya persiapkan sebelum berangkat, mentah semua. Lidah saya kelu. Saya tak bisa bicara banyak di hadapan Gus Khosyi’in, direktur pesantren ini. Untuk apa membicarakan wajah Islam kalau mereka tidak mengaku yang paling benar.

mempersilakan saya makan. Tak lama, pemuda itu masuk lagi.

“Sandalnya hilang lagi ya Mas?”

“Ah, nanti kan muncul lagi.”

Sandal hilang itu memang salah saya. Pertama menghilang, saya sudah diperingatkan agar selalu menyimpannya di kamar jika tidak terpakai. Tapi karena malam tadi sedikit terburu plus malas, saya menggeletakkannya saja. Di depan kamar bersama beberapa sandal lain. Wajarlah kalau kemudian menghilang. Sandal saya sandal jepit kamar mandi. Sandal “milik semua orang.”

Seorang kenalan baru yang lain muncul. Melihat saya sedang makan, dengan tampang sumringah dia bercerita, “Naaah, itu yang namanya nasi boranan. Jadi makanan khas di Lamongan itu bukan soto saja. Ada juga nasi boranan.” Sebentar saja ia masuk, sebentar ia sudah keluar. Tampaknya hanya ingin menerangkan apa yang sedang saya makan.

Sebentar kemudian ada yang tergopoh-gopoh membawa dua pasang sandal yang mirip sandal saya. “Sandalnya yang mana ya Mas?”

Pagi ini adalah pagi kedua saya di Desa Turi, Lamongan. Tepatnya di Pondok Turi, Pesantren Yayasan SPMAA. Sumber Pendidikan Mental Agama Allah. Pondok yang menampung siapa saja. Dari saya yang  sekadar bertamu numpang lewat numpang hidup, anak bermasalah buangan polisi, bayi berumur dua hari yang tak dikehendaki, orang gila kiriman dinas sosial, sampai orang jompo yang menunggu sisa hari. Bahkan saat saya menulis ini, dari corong masjid dua orang suster memperkenalkan diri. Mereka hendak mondok selama dua minggu. Belajar ilmu pekerti yang melimpah ruah di pondokan ini.

Semua bahan diskusi yang saya persiapkan sebelum berangkat, mentah semua. Lidah saya kelu. Saya tak bisa bicara banyak di hadapan Gus Khosyi’in, direktur pesantren ini. Untuk apa membicarakan wajah Islam kalau mereka tidak mengaku yang paling benar.

 mempersilakan saya makan. Tak lama, pemuda itu masuk lagi.

“Sandalnya hilang lagi ya Mas?”

“Ah, nanti kan muncul lagi.”

Sandal hilang itu memang salah saya. Pertama menghilang, saya sudah diperingatkan agar selalu menyimpannya di kamar jika tidak terpakai. Tapi karena malam tadi sedikit terburu plus malas, saya menggeletakkannya saja. Di depan kamar bersama beberapa sandal lain. Wajarlah kalau kemudian menghilang. Sandal saya sandal jepit kamar mandi. Sandal “milik semua orang.”

Seorang kenalan baru yang lain muncul. Melihat saya sedang makan, dengan tampang sumringah dia bercerita, “Naaah, itu yang namanya nasi boranan. Jadi makanan khas di Lamongan itu bukan soto saja. Ada juga nasi boranan.” Sebentar saja ia masuk, sebentar ia sudah keluar. Tampaknya hanya ingin menerangkan apa yang sedang saya makan.

Sebentar kemudian ada yang tergopoh-gopoh membawa dua pasang sandal yang mirip sandal saya. “Sandalnya yang mana ya Mas?”

Pagi ini adalah pagi kedua saya di Desa Turi, Lamongan. Tepatnya di Pondok Turi, Pesantren Yayasan SPMAA. Sumber Pendidikan Mental Agama Allah. Pondok yang menampung siapa saja. Dari saya yang  sekadar bertamu numpang lewat numpang hidup, anak bermasalah buangan polisi, bayi berumur dua hari yang tak dikehendaki, orang gila kiriman dinas sosial, sampai orang jompo yang menunggu sisa hari. Bahkan saat saya menulis ini, dari corong masjid dua orang suster memperkenalkan diri. Mereka hendak mondok selama dua minggu. Belajar ilmu pekerti yang melimpah ruah di pondokan ini.

Semua bahan diskusi yang saya persiapkan sebelum berangkat, mentah semua. Lidah saya kelu. Saya tak bisa bicara banyak di hadapan Gus Khosyi’in, direktur pesantren ini. Untuk apa membicarakan wajah Islam kalau mereka tidak mengaku yang paling benar.

 Bagaimana memperdebatkan Al Quran kalau tidak satu pun ayat di kutip di hadapan saya. Mengapa membicarakan kasih sesama manusia kalau itu semua telah terhampar di depan mata.

Pondok ini pantang menolak siapa saja yang datang. Semua santri tidak dipungut biaya apapun berapapun. Buat hidup buat belajar. Padahal untuk makan saja, dibutuhkan lebih dari dua ton beras tiap bulannya. Mereka memiliki sekolah gratis yang terbuka untuk siapa saja. Dari yang sekadar bodoh, sampai yang mengalami gangguan mental sosial. Dari Pendidikan Anak Usia Dini sampai Madrasah setingkat SMA.

Pondok ini memiliki tambak, yang ikannya tidak melimpah karena sering dipancing santri. Sawah yang tidak menghasilkan maksimal karena digunakan untuk praktek belajar. Lahan kecil tempat santri belajar berkebun. Ayam-ayam petelur untuk dikonsumsi sendiri. Dan para santrinya juga diwajibkan memelihara seekor kambing. Satu orang satu. Yang nggak sanggup beli, dibelikan.

Santri yang sudah selesai belajar tapi ingin tetap tinggal dipersilakan. Yang sudah bekeluarga dibangunkan rumah. Sederhana memang. Cuma kayu. Tapi sama seperti rumah para Gus yang tampak asri namun reyot.

Dari mana dana untuk semua itu? Bagaimana mereka melakukannya? Tak ada donatur tetap.

Selain mandiri, mereka juga membantu keluar. Jembatan desa didirikan. Jalan dibangun. Kalau ada bencana di belahan Indonesia lain mereka datang membantu. Dari tanah longsor sampai tsunami di Aceh. Salah satu Gus sekarang berada di Wasior, kota di Papua yang baru saja habis disapu banjir badang. Survey bantuan apa yang bisa diberikan.

Butuh waktu lebih dari satu perenungan untuk sedikit memahami. Mereka mandiri bukan karena memiliki lahan luas atau pandai berdagang. Mereka mandiri karena teladan berani miskin demi kesejahteraan masyarakat. Teladan dari Bapak Muchtar. Pendiri Pesantren ini, yang memilih dipanggil Bapak Guru dan menolak dipanggil Kyai. Mereka mandiri karena kasih sayang murni meninggalkan ego pribadi.

Kalau agama didefinisikan bagaimana kita memperlakukan orang lain, maka agama saya tidak ada apa-apanya. Separuhnya tidak. Sepersepuluhnya tidak. Secuilnya pun tidak.

Pondok Turi Lamongan, 15 Oktober 2010. Pagi hari sambil mendengar pengajian

By: Kurnia Harta Winata









Alhamdulillahirobbil Alamin, sunguh hanya ucapan syukur yang ada dalam hati ini, ketika Allah menginzinkan kami untuk kembali merangkai tulisan-tulisan ku ini dan teman-temanku semua menjadi suatu tulisan yang mungkin nanti dapat ber manfaat bagi kita semua, aminm.

Sungguh terasa suntuk juga ketika kita hendak mengeluarka ide, solusi, rintihan hati, atau renungan-renungan motifasi bagi kita bersama, namun tidak memiliki wadah atau sarana untuk meng “accommodate”.

menyadari hal itu kami secepatnya berusaha untuk menghidupkan kembali sarana media kita bersama. “INFO SANTRI” ini. Ditambah lagi trimakasih atas suport yang tak henti-hentinya yang diberikan kepada kami untuk menghidupkan kembali media kecil kita ini.

Hingga atas dasar itu kami bersama team kembali merapat dan mencoba untuk memulai lembaran-lembaran baru. “slamat tinggal masa laluuu..... ssslamat daatang lembar baruuu”..

Semoga dengan lembaran awal ini kita bisa memulai lagi hal-hal positif yang dapat kita ambil dari media kita ini. Dan tentunya kedepanya nanti semoga dengan datangnya lembaran baru ini dapat semakin mencerdaskan kita semua santri SPMAA. amiin.

Karna saya yakin bahwa gudang-gembo’ E ilmunya Allah itu ada di SPMAA ini, untuk itu kita yang berada disini mari bersama-sama untuk mengasah ilmu Allah yang ada di SPMAA ini dengan perbanyak tirakat, sedekah, membaca-menulis dan mempraktekanya.

Perlu kita inggat kembali bahwa kita yang ada di SPMAA ini adalah orang-orang pilihan “The Chosen One” untuk itu mari kita buktikan bahwa kita benar-benar orang pilihan dengan tulisan-tulisan kita yang bermanfaat dan memberikan manfaat bagi kita semua umat manusia.